Monday 30 April 2012

antiisipasi Strategis Perang Nilai Budaya di Area Global

tisipasi Strategis Perang Nilai Budaya di Area Global
Oleh : Eko Suryanti
(Staf Sub Bidang Kebudayaan, DSKM, BAPEDA Propinsi DIY. Berdasarkan berbagai sumber)

Realita historis telah membuktikan kesemestaan Yogyakarta bagi dunia, sehingga menjadikan kebudayaan Yogyakarta bukanlah kebudayaan Yogyakarta yang berdiri sendiri di negerinya, tetapi merupakan ramuan dari berbagai kebudayaan yang telah di-harmonisasi-kan ke dalam seluruh aspek kehidupan berbudaya di Yogyakarta. Yogyakarta, negeri yang di-design awal oleh ahli tata ruang dan ahli starategi perang, P. Mangkubumi ini telah meramu unsur-unsur budaya lain, yang kemudian dimanifestasikan dalam bentuk seni pertunjukan, seni rupa, bahasa, seni suara, seni sastra, adat istiadat, filosofi, seni bangunan, dan sebagainya.

Kontribusi Yogyakarta bagi semesta dapat dibuktikan dengan banyaknya atribut yang sengaja disematkan oleh para pecintanya, sebagai kota budaya, kota pendidikan, kota pariwisata, kota toleransi beragama. Yogyakarta merupakan ”Taman Dunia” yang diumpamakan sebagai Kawah Candradimuka bagi banyak persona baik di tingkat daerah, nasional, maupun internasional. Di situs inilah berjumpa banyak pelajar dan mahasiswa dari seluruh penjuru dunia, juga wisatawan baik dari daerah lain maupun wisatawan mancanegara, antara lain : dari benua Asia, Australia, Amerika, Eropa dan Afrika. Mereka telah memboyong muatan budaya dari daerah dan negara asalnya. Oleh karenanya kontak budaya selalu terjadi, sehingga terjadilah imitasi dan akulturasi.

Yogyakarta tidak akan mungkin mengelak globalisasi, sebagai konsekuensi dari posisinya yang menyemesta itu dan konsekuensi zaman globalisasi. Globalisasi dan modernisasi pasti terjadi, dan tidak terelakkan. Era globalisasi yang diboncengi neoliberalisme dan modernisasi melaju diiringi pesatnya revolusi IPTEK. Dunia tanpa batas yang menganut aliran kebebasan, kebebasan berkreatifitas, kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi. Bila kita duduk di suatu kursi akan melihat dan berkomunikasi dengan orang di tempat yang paling jauh di dunia luar sana, maka kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi mendekatkan jarak dan waktu. Kondisi tersebut secara tidak langsung telah melahirkan budaya baru dan mempengaruhi tatanan budaya masyarakat di Yogyakarta.

Sebenarnya globalisasi dengan model lain telah terjadi sejak dulu dalam sejarah Kebudayaan Jawa. Pada masa lampau, dalam model dan kapasitas yang berbeda globalisasi telah sering terjadi. Kemapanan budaya lokal yang merupakan akumulasi dari budaya sekitar harus dimasuki oleh tradisi dan budaya Hindu pada sekitar abad ke-5 Masehi. Setelah melalui tawar menawar damai dalam proses akulturasi yang wajar tanpa rekayasa terbentuklah kebudayaan Hindu yang khas Indonesia, termasuk adopsi sistem pemerintahan dan budaya tulis menulis. Kemapanan kebudayaan lokal yang juga diwarnai budaya lain tersebut juga dimasuki tradisi muslim pada abad ke-13. Kompromi-kompromi dalam proses akulturasi telah melahirkan kebudayaan baru yang bernuansa Islam khas Indonesia. Pada abad ke 15-16 terjadi revolusi kebudayaan Hindu Budha ke Nusantara Hindu-Budha-Islam. Kekawin digubah menjadi macapat. Muncul Arab pegon dan Arab melayu. Abad 16 muncul kolonialisme Barat yang lama-lama mengubah warna budaya menjadi budaya Barat. Itu membuktikan bahwa budaya Jawa telah mewariskan strategi budaya ’ngeli tanpa ngeli’  - menghanyut tetapi tidak ikut benar-benar hanyut dalam menghadapi gelombang perubahan zaman. Terbukti pada saat itu globalisasi tidak menimbulkan konflik yang berarti.

Perputaran zaman kemudian, modus dan skala globalisasi telah berubah. Dunia akan terus mengalami revolusi Four Ti (Technology, Telecomunication, Transportation, Tourism) yang memilik globalizing force yang dominan sehingga batas antar daerah dan antar negara semakin kabur, dan akan tercipta sebuah global village. Kebudayaan yang berkembang saat ini telah banyak meninggalkan rumus aslinya. Kebudayaan yang berkembang saat ini telah banyak meninggalkan kerangka asli kebudayaan Yogyakarta. Apabila tidak ada tindak lanjut, dimungkinkan kebudayaan Yogyakarta tidak bisa lagi menjadi landasan utama pandangan hidup setiap anggota masyarakat yang tinggal di DIY. Pengaruh globalisasi sangat besar bagi perubahan lingkungan dan kebudayaan di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Daya serap masyarakat terhadap budaya global lebih cepat dibanding daya serap budaya lokal. Bukti nyata dari pengaruh globalisasi itu, antara lain dapat disaksikan pada gaya berpakaian, gaya berbahasa, teknologi informatika dan komunikasi, dan lain sebagainya. Rok mini dipandang lebih indah daripada pakaian yang rapat. Bahasa Jawa pun terkalahkan oleh Bahasa Betawi yang dianggap lebih gaul. Bahasa Jawa menjadi bahasa yang ke sekian di bawah Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia gaul. Dengan pergeseran waktu wanita-wanita Jawa yang terkenal pandai memasak mulai beralih pada makanan-makanan cepat saji (fastfood) yang bisa didapatkan di restoran. Pizza, spagetti, humberger, fried chicken dianggap lebih fashionable daripada makanan lokal. Media elektronik selalu kebanjiran film-film Mandarin, Bollywood, Hollywood, Mexico, dan lain sebagainya. Tempat belanja lokal tidak memenuhi kebutuhan, sehingga wisata belanja ke luar negeri membudaya, walaupun membutuhkan biaya mahal. Handphone dengan berbagai model dikerumuni banyak remaja Yogyakarta. Proses imitasi budaya asing akan terus berlangsung.

Arus globalisasi bukanlah faktor tunggal penyebab degradasi moral dan degradasi budaya yang terjadi pada akhir-akhir ini. Faktor-faktor yang menyebabkan kebudayaan Jawa di Yogyakarta tidak tampil dalam kehidupan sehari-hari, antara lain adalah :
  1. Kebudayaan Jawa dianggap kurang praktis. Kenapa orang lebih suka memakai blus, rok, kaos, kemeja, celana panjang daripada memakai sarung, beskap, kain, kebaya ? Tentu saja karena alasan kepraktisan.
  2. Kebudayaan Jawa memberlakukan banyak aturan dan ritual yang memang mahal. Dalam fase-fase kehidupan manusia Jawa dari kelahiran, pernikahan, kehamilan, meninggal selalu diwarnai upacara-upacara ritual yang dianggap rumit dan mahal.
  3. Kebudayaan Jawa memberlakukan unggah-ungguh yang terlalu tinggi untuk dipahami oleh remaja-remaja zaman sekarang. Ditambah lagi ada sinyal bahwa tingkat pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai budaya masih rendah.
  4. Kebudayaan Jawa belum mendarah daging di kalangan masyarakat Jawa, karena memang tingkat kehidupan masyarakat masih pada kebutuhan primer. Misalnya : mana mungkin rakyat biasa dapat membangun rumah mewah berbentuk joglo, itu kan membutuhkan biaya besar.
Kenyataannya Kebudayaan Yogyakarta sedang mengalami kondisi ”mati segan hidup tidak mau” yang terus berlangsung dalam area global :      
  • Lunturnya spiritual heritage yang telah diwariskan para leluhur Yogyakarta,
  • Bergesernya nilai-nilai masyarakat paguyuban (pedesaan) ke arah patembayan (perkotaan),
  • Industrialisasi yang cenderung pada budaya pasar daripada budaya humanitas berkembang pesat,
  • Mulai menipisnya budaya agraris dan tradisional,
  • Memudarnya nilai-nilai pendidikan masyarakat yang adiluhung dan nilai-nilai keteladanan,
  • Berkurangnya kewaskitaan memahami makna simbolis dan nilai filosofis,
  • Gelombang penyeragaman budaya global merajalela di mana-mana,
  • Penyeragaman budaya global tidak meleburkan keperbedaan atau heterogenitas antar budaya.
Era globalisasi dan era keterbukaan telah menghadapkan masyarakat Yogyakarta pada tantangan-tantangan :
  1. Tantangan dalam mewujudkan peningkatan kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan yang ditempuh melalui proses pembangunan kebudayaan
  2. Tantangan dalam menghadapi fenomena yang ditimbulkan dari proses globalisasi yang menyamarkan batas-batas anatar negara
  3. Tantangan terhadap kemungkinan adanya penjajahan IPTEK dan budaya
  4. Tantangan erosi nilai-nilai budaya
Arus global dapat cepat menggerus nilai-nilai budaya lokal sebagai resiko posisi Yogya yang juga menjadi Kawasan Taman Dunia seiring dengan rekayasa penyeragaman kebudayaan ke dalam ke-global-an. Ketidakberdayaan tradisi dalam menghadapi kekuatan-kekuatan lain di luar dirinya tidak boleh dibiarkan begitu saja. Upaya-upaya pembakuan dan modernisasi yang mengarah pada proses pembunuhan tradisi harus dilawan, karena itu berarti pelenyapan atas sumber identitas lokal yang diawali dengan krisis identitas lokal. Proses kematian adalah hal yang biasa dan tak perlu diratapi, namun suatu kematian yang dipaksakan harus dihindari/dilawan. Mungkinkah kebudayaan Jawa akan mati digerus globalisasi dan ditinggalkan pendukungnya ? Ataukah Yogyakarta akan menjadi pelestari budaya yang mampu mengolah secara kritis kearifan lokal dan budaya Jawa untuk mengembangkan jatidiri ? Ataukah Yogyakarta akan menjadi pusat pengembangan kebudayaan yang mengambil bagian secara aktif dalam pengembangan budaya nasional yang berakar dalam berbagai tradisi yang berkembang di Indonesia untuk bersama-sama membangun budaya bangsa ? Ataukah Yogyakarta akan menjadi pusat pertukaran budaya yang menjadi bagian budaya dunia dan menjadi wadah pertukaran budaya dengan bersikap terbuka secara kritis terhadap berbagai ragam budaya dalam bingkai multi kulturalisme yang saling menghargai?

Fenomena peng-global-an dunia harus disikapi dengan arif dan positif thinking karena globalisasi dan modernisasi sangat diperlukan dan bermanfaat bagi kemajuan. Namun tidak boleh lengah dan terlena, karena era keterbukaan dan kebebasan itu juga menimbulkan pengaruh negatif yang akan merusak budaya bangsa. Menolak globalisasi bukanlah pilihan tepat, karena itu berarti menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bukankah kita tidak mau ketinggalan dalam IPTEK dengan negara lain. Akan tetapi perlu kecerdasan dalam menjaring dan menyaring efek globalisasi. Akses kemajuan teknolgi informatika dan komunikasi dapat dimanfaatkan sebagai pelestari dan pengembang nilai-nilai budaya lokal. Jatidiri daerah harus terus tertanam di jiwa masyarakat Yogyakarta, serta harus terus meningkatkan nilai-nilai keagamaan.

Upaya-upaya pembangunan jati diri bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya penghargaan pada nilai budaya dan bahasa, nilai-nilai solidaritas sosial, kekeluargaan dan rasa cinta tanah air dirasakan semakin memudar. Pudarnya budaya bangsa disebabkan oleh beberapa faktor. Dalam kenyataannya di dalam struktur masyarakat terjadi ketimpangan sosial, baik dilihat dari status maupun tingkat pendapatan. Kesenjangan sosial yang semakin melebar itu  menyebabkan orang kehilangan harga diri. Budaya lokal yang lebih sesuai dengan karakter bangsa semakin sulit dicernakan, sementara itu budaya global lebih mudah merasuk. Di dalam pendidikan masyarakat kepemimpinan tidak mencerminkan ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tutu wuri handayani (di depan memberi teladan, di tengah membimbing, dan di belakang mendorong). Menipisnya keteladanan itu tampak di segala lingkungan. ”Ilmu titen” yang ada dalam masyarakat sudah mulai menipis karena semakin sulit menyaring dan menjaring budaya yang adiluhung, karena terhanyut pada gaya hidup global. Masyarakat telah mengalami kerancuan bahasa, sehingga sulit membedakan apa yang disebut dengan westernisasi dengan modernisasi. Selama ini yang terjaring oleh mastarakat hanyalah gaya hidup ke-Barat-Baratan, bukan pola hidup modern.

Nilai-nilai kearifan lokal bukanlah nilai usang yang harus dimatikan, tetapi dapat bersinergi dengan nilai-nilai universal dan nilai-nilai modern yang dibawa globalisasi. Dunia internasional sangat menuntut demokrasi, hak asasi manusia, lingkungan hidup menjadi agenda pembangunan di setiap negara. Isu-isu tersebut dapat bersinergi dengan aktualisasi dari filosofi ”Hamemayu Hayuning Bawana”, masyarakat Yogyakarta harus bersikap dan perilaku yang selalu mengutamakan harmoni, keselarasan, keserasian dan keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam, manusia dengan manusia dan manusia dengan Allah SWT dalam melaksanakan hidup dan kehidupan agar negara menjadi panjang, punjung, gemah ripah loh jinawi, karta tur raharja.

Hamemayu Hayuning Bawana dapat direalisasikan dengan Hamemasuh Memalaning Bumi, yaitu membersihkan atau mengamankan tindakan-tindakan yang melanggar hak-hak asasi manusia. ”Memalaning Bumi” itu dapat berupa peperangan, penghapusan etnis, penyalahgunaan obat bius, penggunaan senjata pemusnah masal, terorisme, wabah penyakit, pembakaran hutan, dan lain-lain yang membahayakan kehidupan manusia dan alam lingkungan. Rasio dan kreatifitas Barat dapat bersinergi dengan Hangengasah Mingising Budi, yang menggambarkan upaya yang tidak berhenti untuk mempertajam budi/manusia sehingga semakin tajam dari waktu ke waktu. Budi manusia yang terasah akan selalu menghasilkan hal-hal yang bersifat baik bahkan luhur dalam wujud hasrat sampai dengan perbuatan atau karya-karyanya. Dalam hal ini diharapkan manusia dapat melahirkan pemikiran-pemikiran atau hasrat baik atau luhur secara terus menerus guna disumbangkan bagi kepentingan manusia atau bebrayan agung termasuk untuk melindungi atau melestarikan dunia seisinya. Etos kerja dan profesionalisme dapat sinergi dengan filosofi ”Sepi ing pamrih rame ing gawe” (giat bekerja tanpa memikirkan diri sendiri). Terbangunnya kondisi damai dalam menjalin hubungan dengan negara-negara lain sehingga tercipta stabilitas keamanan dari tingkat sub regional, regional bahkan di dunia seyogyanya dicapai dengan aplikasi konsep ”nglurug tanpa bala, menang tanpa gasorake”.

Globalisasi yang tidak terhindarkan harus diantisipasi dengan pembangunan budaya yag berkarakter penguatan jati diri dan kearifan lokal yang dijadikan sebagai dasar pijakan dalam penyusunan strategi dalam pelestarian dan pengembangan budaya. Upaya memperkuat jatidiri daerah dapat dilakukan melalui penanaman nilai-nilai budaya dan kesejarahan senasib sepenanggungan di antara warga. Oleh karena itu perlu dilakukan revitalisasi budaya daerah dan perkuatan budaya daerah. Upaya tersebutt direalisasikan melalui langkah-langkah strategis berikut ini:
  • Pemahaman atas falsafah budaya Jawa sebaiknya dilakukan sesegera mungkin ke semua golongan dan semua usia berkelanjutan dengan menggunakan bahasa Jawa. Demikian pula di lingkungan pemerintahan, dari pusat hingga RT dan RW.
  • Pembenahan dalam pembelajaran Bahasa Jawa.
  • Peningkatan kualitas pendidik, pemangku budaya yang berkelanjutan
  • Pengembangan kesenian tradisional perlu menjadi perhatian para pemangku kebijakan
  • Penggalangan jejaring antar pengembang kebudayaan baik di Yogyakarta maupun di luar Yogyakarta.
  • Peningkatan peran media cetak dan elektronik dan visual termasuk media luar dan dalam ruangan dalam membuat kondusif pemahaman falsafah budaya Jawa, mempromosikan seni pertunjukan lokal.
  • Pemanfaatan berbagai prasarana yang ada di masyarakat dan universitas.
  • Pengaitan kajian-kajian budaya dengan aspek kehidupan kemasyarakatan yang lain, seperti teknologi, kesehatan, agronomi.
  • Pejadwalan rutin workshop dan saresehan falsafah budaya Jawa
  • Pelibatan semua pihak, pemerintah, LSM, kelompok masyarakat, pemerhati, akademisi, pebisnis.
  • Penghargaan bagi pemangku, pelaku dan pengembang budaya Jawa.
  • Penyusunan PERDA yang melindungi aset budaya baik yag berupa ide, perilaku, maupun fisik.
  • Pendanaan yang berkelanjutan.
  • Penyusunan draft hak patent atas karya-karya budaya leluhur, seperti lukisan Affandi, batik, anyam-anyaman, keramik Kasongan dan sebagainya sebelum diklaim oleh negara lain.
  • Memberi fasilitas secara berkelanjutan bagi program-program pelestarian dan pengembangan budaya.
  • ”Plug in” muatan budi pekerti di setiap mata pelajaran di lingkungan pendidikan.
Pembangunan budaya yang berkarakter pada penguatan jati diri mempunyai karakter dan sifat interdepensi atau memiliki keterkaitan lintas sektoral, spasial, struktural multi dimensi, interdisipliner, bertumpu kepada masyarakat sebagai kekuatan dasra dengan memanfaatkan potensi sumber daya pemerataan yang tinggi. Karakter pembangunan budaya tersebut secara efektif merangkul dan menggerakkan seluruh elemen dalam menghadapi era globalisasi yang membuka proses lintas budaya (trans-cultural) dan silang budaya (cross cultural) yang secara berkelanjutan akan mempertemukan nilai-nilai budaya satu dengan lainnya.

No comments:

Post a Comment

About Me